09 December 2007

Sopir-sopir Taksi

Tiga hari kemarin pergi ke Jakarta, karena kebetulan ada pameran manufacturing yang menarik. Kami tidak membawa kendaraan, mengingat jumlah kami hanya sedikit, sehingga akan lebih murah apabila kami menggunakan travel seperti Cipaganti, X-Trans atau Baraya.

Untuk pergi ke tempat-tempat yang telah dijadwalkan sebelumnya, kami menggunakan taksi.
Sopir taksi pertama, seorang sejarahwan. Beliau bercerita tentang politik mulai dari jaman Soekarno hingga masa kini, "Tahu nggak!?? Nggak ada presiden yang lebih baik dari Soekarno!"

Dengan penuh semangat, ia menjelaskan mengapa, bagaimana, dimana dan kapan terjadinya beragam peristiwa di Indonesia, dengan dibumbui romantika masa-masa perjuangan, kemudian berakhir di kisah mengenai rencana penyerangan Indonesia ke Malaysia.

Dilanjutkan dengan kisah mengapa kini Malaysia bisa dengan pongah mengambil satu demi satu budaya kita untuk dipatenkan, mulai dari tempe sampai kesenian-kesenian, dst.. hingga sampai di tujuan, ia masih terus bercerita sambil menghitung kembalian..

Sopir kedua, sopir tembak (malam hari jam 02.00 di Jakarta membuat penumpang tidak memiliki banyak pilihan), meminta 75,000,- dari Artha Gading ke Slipi.

"Lewat tol aja Pak.. kan lebih aman"
"Lha, emang kita ngapain? Udah, lewat jalan biasa aja.."
"75 rebu aja pak, ntar tol saya yang bayarin"
(ngotot amat sih ni taksi, pikir saya yang terkejut melihat argo berjalan 5 kali lebih kencang)

"Ntar kena polisi lho" si sopir bersikeras
"Lha, ya biarin, kita pada bawa KTP kok"
"Tapi saya nggak bawa SIM"
"Pak, kita stop disini, mau ganti taksi"

Nah, sopir selanjutnya, nggak kalah seru, sopir yang mudah naik darah! Walaupun ia sopir taksi yang sudah memiliki reputasi di Jakarta, dia tetap berusaha memperdaya kami dengan mengambil jalan yang lebih jauh dan macet. Sebelum kami sempat protes,
DUAR! Dia kena sial..

Taksi yang kami tumpangi sedang menyalip ke jalur kanan ketika ditabrak oleh mobil di belakangnya. Sopir taksi tersebut dengan gemas berkata-kata sambil menunjuk-nunjuk sopir mobil yang menabraknya, yang kini telah tepat berada di sampingnya, "HEH! Kena loe ya! Minggir sekarang!!! Kena loe ya!!!"

Sejurus kemudian sopir taksi berusaha menyalip, dan berhasil! Kini ia berada tepat di depan mobil itu lagi, dan berusaha menghalangi jalan mobil tersebut, kemudian menyuruhnya untuk segera menepi. Setelah menuai banyak klakson protes dari para pengemudi di belakang kami, akhirnya mobil tersebut menepi di belakang kami.

Sopir taksi segera mengerem, dan turun dari taksi. Segera setelah turun, ia menghampiri sopir mobil yang menyenggolnya."Plak!" sebuah tamparan mendarat di pipi sopir taksi, segera terjadi pergumulan (lebih tepatnya mungkin saling tampar dan tangkis) yang kekanak-kanak kan.

Si sopir taksi yang merasa bertubuh lebih kecil (terlambat disadari, karena sopir mobil lainnya yang bertubuh lebih subur dan gempal serta memiliki tinggi tubuh yang agak sedikit membuat nyali menciut, berkepala plontos, baru dapat terlihat setelah turun dari mobil) segera kembali ke taksinya.

Mereka kembali saling berkacak pinggang dan menaikkan dagu masing-masing seraya terus saling melempar argumen. Namun bedanya, kini si sopir taksi sudah memegang pintu mobil, bersiap-siap untuk segera masuk ke mobil dan tancap gas.

Si sopir mobil yang menabrak merasa tidak bersalah, dan terus menerus mengatakan "Apa-apaan!! Hah!?" secara dia yang salah karena menabrak (logikanya di jalan raya yang maju ke depan, mobil yang depanlah yang jadi korban kalau tabrakan dengan mobil di belakangnya, kecuali aturan jalan raya diubah sehingga semua kendaraan harus berjalan mundur).

"Apaan HAH!??" seru si plontos
"Sudah, kalau mau di kantor polisi aja!" tantangnya kemudian
"YA! boleh!! Ayo sekarang kita ke kantor polisi!" jawab si sopir taksi tidak mau kalah

Keduanya masuk kembali ke dalam mobil. Setelah berjalan beberapa puluh meter, si sopir taksi melihat gelagat si plontos mengambil jalan masuk ke tol dalam kota. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan, tangan kirinya segera meraih kunci untuk membuka ban mobil, kemudian membuka kaca jendela sambil berteriak, "HEH!! Ke kantor polisi!"

Si plontos mungkin saat itu baru menyadari bahwa posisi dia saat tabrakan tadi memang posisi seorang penabrak. Segera ia tancap gas dan masuk ke jalur kanan.. ketika sebuah bunyi keras..
KROMPYANG!
Kunci ban yang dilempar oleh sopir taksi, mengenai bagian belakang mobil (hampir memecahkan kaca bagian belakang), kemudian terpental ke pembatas jalan berumput di sampingnya. Si plontos segera berhenti, lalu dengan tergopoh-gopoh keluar dari mobilnya dan bergegas berlari kecil mendatangi kami, yang berhenti hanya sekitar 10 meter darinya. Sopir taksi sedang asyik menikmati wajah si plontos yang penuh amarah.

Setelah jarak tersebut semakin dekat, 5 meter, 4, 3.. taksi melesat 10 meter lagi.. Sadar tidak bisa mengejar, si plontos berlari kembali ke mobilnya untuk mengambil sesuatu. Sopir taksi menyaksikannya lewat spion sambil terkekeh.. Teman saya yang sudah tidak tahan segera berkata "Pak, kayanya dia polisi deh. Tuh, lagi ngambil pistol.."
Akhirnya taksi kembali melesat diiringi rasa puas si sopir taksi bercampur dengan rasa ngeri kami.

Kami masih dapat menyaksikan dari jauh, wajah dongkol si plontos, berdiri di samping pintu mobilnya, sambil tangan kanannya memegang sesuatu yang baru saja diambil dari mobilnya.. sepertinya memang pistol deh. Setelah beberapa puluh meter, taksi kami tiba-tiba berputar di u-turn..
"Lho, kok balik lagi pak, ini kan jalan ke tempat barusan?"
"Heeuh.. *garuk-garuk rambut* saya nggak ada kunci ban mobil lagi, jadi mau saya ambil dulu"
Duuuh, lain kali kalau mau melempar barang, lempar barang yang ada cadangannya dong..