Era Buku Digital: Amazon Kindle
Buku merupakan ciptaan manusia yang memiliki sejarah yang panjang, yaitu sejak masa Gutenberg menciptakan mesin cetak pertama. Kebetulan saya penggemar buku, entah itu komik, manga, graphic novel, novel fiksi non-fiksi, dll, dan sangat menikmati masa-masa santai ketika berkesempatan untuk menikmati membaca. Dan kini, setelah era digitalisasi musik dan film (yang hingga kini membawa segudang permasalahan menyangkut hak cipta), kini tiba saatnya buku berformat digital.
Sebenarnya ini bukan merupakan hal baru. Digitalisasi buku telah ada sejak pertengahan abad 20, ketika istilah e-book digunakan, dan orang membacanya dengan menggunakan komputer. Mereka juga tampil dalam bentuk Adobe Acrobat. Tetapi membaca melalui layar komputer sangat tidak nyaman, rasanya sakit dan pegal2 di seluruh punggung ketika saya berusaha membaca satu buku di layar komputer.
Setelah itu muncul PDA dari Palm. PDA pertama yang sukses di pasaran. Sama halnya, membaca melalui PDA sangat tidak nyaman. Selain ukurannya sangat kecil, mata menjadi lelah karena cahaya kurang memadai, dan bentuk font yang kasar agak sukar untuk dikenali.
Kini, Amazon mengeluarkan Amazon Kindle sebagai alat untuk membaca buku berformat digital. Dengan bobot 1 kg, dapat memuat hingga 200 buku, cara pakai yang mudah, tidak membutuhkan koneksi ke pc Anda, dan baterai yang tahan lama. Amazon juga telah mempersiapkan 80.000 judul buku bagi para pengguna awal. Harga per-buku dijual sekitar US $9,99, berarti sekitar Rp. 85,000,-. Harga yang cukup mahal mengingat kindle dilepas ke pasar dengan bandrol $399 (Rp. 3,391,500,-).
Namun Amazon berusaha untuk membuat agar kindle dapat memberikan kelebihan lainnya, seperti misalnya berlangganan koran, majalah, atau blog tertentu (tentunya dengan membayar iuran bulanan). Untuk mengatasi font yang tidak nyaman dibaca melalui layar monitor, kindle menggunakan teknologi e ink. e ink mengembangkan sejenis tinta digital yang lebih tajam bentuknya sehingga lebih nyaman untuk dibaca dalam bentuk digital.
Toko buku di masa depan adalah toko buku tanpa bentuk fisik. Kita hanya tinggal browsing untuk menemukan daftar 10 buku terlaris, atau mencari tahu jenis buku tertentu dari sekelompok penggemar setia jenis buku tertentu, atau mengetahuinya dari mailing list, membaca kumpulan resensi dari para pembaca buku, kemudian mencarinya di rak digital buku.
Anda juga dapat langsung menemukan link ke website pengarangnya, membaca kisah masa lalunya, mendapatkan cara mereka mendapatkan inspirasi, bahkan langsung mendapatkan alternate ending yang tidak dipublikasikan. Selain itu Anda juga bisa mendapatkan pelayanan yang ramah dalam sebuah komunitas buku dari para penggemar buku yang berwawasan luas. Apa jadinya gramedia dan toga mas ya? :D
Yang jelas, memang kita akan semakin dimanjakan lagi. Tidak ada kata kehabisan stok (ini yang paling sering saya alami), tidak mendapatkan pelayanan yang baik (karyawan tidak tahu apa-apa tentang buku!), dengan nyaman dapat melihat-lihat resensi hingga bab 1 buku-buku yang dijual (amazon memperbolehkan bab 1 dibaca secara gratis) untuk mengetahui apakah ceritanya cukup menarik untuk berlanjut ke bab selanjutnya.
Anda juga bisa langsung membeli dan membaca buku tersebut saat itu juga tanpa harus memusingkan untuk berjalan keluar, naik angkot, melewati macet, hanya untuk sampai ke toko buku (dan harus melewati jalan yang sama untuk pulang sebelum dapat membaca buku tersebut), dst dst..
Namun saya merasa bahwa kindle dan revolusi digital buku masih cukup lama untuk dinikmati di Indonesia. Laptop semakin murah (banyak program pengadaan laptop bagi negara dunia ke-3 yang harganya hanya sekitar 1 juta rupiah), demikian juga barang-barang elektronik lainnya. Di luar negeri mungkin ini saat yang tepat.. di Indonesia? Mungkin 5 tahun lagi, atau 10 tahun lagi..
Yang pasti, saat-saat membaca sebuah buku yang sangat saya sukai hingga kumal akan menjadi saat-saat yang ngangenin :p